Kamis, 29 September 2011

Jakarta pagi ; ( Hikayat " i " )

Mentari berdiri tanda sepi menepi
Ini hari tak ada roti dan kopi, karena aku harus berlari mencari rezeki.
Hati-hati, ada pak polisi. Pura-pura mengantri.
Bukan sekali ini polusi mendaki.
Supaya tak sampai darah tinggi, aku serobot hak pejalan kaki.
Pejalan kaki emosi, 'Dasar tak tahu diri!"
Pengendara lain iri, segera membuntuti.

Kalau bukan tuntutan istri, aku lebih suka menulis puisi atau fiksi mini, sekali-kali skenario televisi.
Tak apalah, karena menulis butuh sepi.
Lagi pula hidup harus berbagi supaya perut bisa terisi.
Syukur-syukur bisa beli blackberry, biar bisa update status tiap hari, juga menulis doa-doa religi.
Kalau begini, hilang fungsi alat komunikasi jadi alat membanggakan diri.

Sisa dua lampu merah lagi.
Merah bukan hanya tanda berhenti, tapi juga tanda memulai aksi, transaksi sampai promosi.
Hijau tanda mereka menepi. kendaraan berebut ingin mendahului.
Cepat akan mendapat puji, lambat mendapat caci maki.

Sampai.
Waktunya mematut diri dari spion sebelah kiri.
Tetap saja lamaran ini tak disetujui.

Tidak ada komentar: